Minggu, 24 Maret 2013


MAKALAH
Kultur dan Etika Birokrasi di Indonesia
“ MATA KULIAH BIROKRASI INDONESIA”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK :
1.      NASRULLAH
2.      IRWAN ASIS
3.      ABDUL GANI SIMAL

     


FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDY ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS DARUSSALAM AMBON
KAMPUS “C” MASOHI
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang diberikan oleh dusen pembimbing di susun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sistem Program Studi Ilmu Pemerintahan.
Makalah ini sendiri kami susun berdasarkan teori dan sejarah birokrasi serta polemik yang terjadi di era globalisasi ini.. Dengan judul makalah ”Kultur dan Etika Birokrasi di Indonesia
Kami  menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna menyempurnaka penulisan  ini. Kami  pun berharap semoga apa kami rangkum  ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.
                                     
                                                            Masohi, Des 2012

                                                Penulis




DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................
BAB I             PENDAHULUAN..............................................................
1.1  Latar Belakang.............................................................
1.2  Maksud dan tujuan penulisan..........................................
BAB II           PEMBAHASAN..........................................................................
A.    Konsep Kultur dan Etika…………………………………..
B.     Kultur dan Etika Birokrasi di Indonesia…………………..
C.     Fungsi dan Peran Birokrasi……………………………….
D.    Dampak Perilaku Menyimpang dalam Birokrasi di Indonesia.
BAB III          PENUTUP........................................................................
                        5.1 Kesimpulan..................................................................
                        5.2 Saran...........................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................








BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Wajah birokrasi dari suatu penyelengaraan negara Indonesia akan tercermin pada hasil produk yang berupa adanya standar pelayanan terhadap publik atau masyarakat dalam rangka merasionalisasi birokrasi akan dapat terwujudnya dengan adanya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, terdapat sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak dan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dengan terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan dan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memperoleh penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan pada kepentingan umum serta adanya kepastian hukum dalam kesamaan hak disamping keseimbangan hak dan kewajiban meliputi keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, penyedian fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
Sebagai penjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik dan penanggung jawab adalah pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, pimpinan lembaga lainnya, gubernur pada tingkat provinsi dengan kewajiban melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sedangkan pada tingkat bupati pada tingkat kabupaten, walikota pada tingkat kota melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan menteri atau dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dan gubernur
Efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas publik terdapat faktor yang menentukan antara lain dengan adanya derajat transparansi penerimaan yang dapat diukur dari peran media massa dalam memberikan informasi kepada publik meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang telah dilakukan dan tidak pernah dilakukan bagi kepentingan publik serta pendidikan pemahaman hak-hak sipil yang diberikan kepada para warga negara agar mengetahui hak dan kewajibannya serta kesiapannya untuk menjalankan.
1.2  Maksud dan tujuan penulisan
Adapun maksud dan tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mendapatkan data, baik secara kwantitatif maupun kwalitatif mengenai Birokrasi Indonesia.
2.      Sebagai suatu bahan pelajaran ke depan dengan adanya polemik yang terjadi dalam Birokrasi di Indonesia saat ini.









BAB II
PEMBAHASAN
KULTUR DAN ETIKA BIROKRASI DI INDONESIA
  1. Konsep Kultur dan Etika
Menurut Samuel P. Huntington bahwa birokrasi merupakan mesin pemerintah yang mengimplementasikan kebijakan Negara. Birokrasi merupakan mata rantai tak terpisahkan dalam hubungan pemerintah dengan rakyat dalam hal ini berkaitan dengan fungsi pemerintah dalam hal mencapai tujuan pelayanan publik yang maksimal.
          Saat ini birokrasi di indonesia sering menjadi keluhan dan sorotan oleh kalangan masyarakat. Pasalnya Birokrasi merupakan alat negara dalam penyeleggaraan dan melayani masyarakat. Dalam menanggapi maslah ini secara umum ada dua permasalahan yang menjadi inti dari permasalahan ini. Pertama, kultur birokrasi. Kedua, etika birokrasi.
Kultur atau budaya secara etimologi berasal dari colore yang artinya mengerjakan atau mengelola. Dalam kamus bahasa indonesia kultur di artikan sebagai peradaban, adat dan etik. Jadi kultur adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Etika dapat didefinisikan sebagai pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral yang memberikan refleksi tentang bagaimana manusia harus hidup, dan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sehingga etika dapat dipandang sebagai perangkat nilai atau norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karenanya, keberadaan etika secara umum maupun khusus adalah inklusif dalam tatanan lingkungan sosial. Bertens menjelaskan etika  sebagai nilai-nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Ia juga menegaskan bahwa etika merupakan nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, maka etika bermuara pada nilai atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang.
  1. Kultur dan Etika Birokrasi di Indonesia
1.      Kultur Birokrasi
Birokrasi di Indonesia, merupakan warisan kultur birokrasi sejak masa penjajahan kolonial dulu. Beberapa episode dalam pemerintahan yang mewarnai bangsa ini menempatkan birokrasi di negara ini dalam berbagai karakteristik yang mencerminkan keadaan (kegagalan) tersebut. Pada masa kolonialisme, birokrasi diatur oleh pemerintah penjajah Hindia Belanda yang menganut pola pikir pengaturan wilayah jajahannya.
Orientasi reformasi yang lebih mengarah pada perubahan dalam birokrasi ini bukanlah hanya merupakan tuntutan yang tanpa alasan, melainkan karena adanya beberapa permasalahan yang selama ini membelenggu birokrasi pada umumnya. Permasalahan yang terjadi dallam perilaku birokrasim sering kali menjadi dasar permasalahan yang muncul dikalangan birokrasi. Masalah perilaku ini juga tidak sebatas dipengaruhi oleh kondisi internal birokrasi itu sendiri tetapi juga karena adanya pengaruh eksternal yaitu adanya intervensi dari partai politik terhadap aparat biroktasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Miftah Thoha bahwa terkait netralitas aparatur birokrasi tidak sepenuhnya terjadi karena adanya intervensi dari partai politiK.
perilaku aparatur birokrasi di Indonesia saat ini menjadi catatan merah yang perlu diperbaiki, dari sekian data KKN, Prosedur dan Mekanisme Kerja yang berbelit-belit, kaya struktur tetapi miskin fungsi kesemuanya merupakan persoalan perilaku aparatur didalamnya. Pada tataran tertentu, permasalahan-permmasalahan tersebut bisa terjadi secara parsial yang terfragmentasikan pada masing-masing kondisi. Tetapi pada tataran atau kondisi lainnya bisa pula terjadi secara bersamaan. Dan pada masa desentralisasi ini pun persoalan tersebut semakin terfragmentasikan kedalam satu kondisi dimana terliha dari kepemimpinannya.
2.      Etika Birokrasi
Etika birokrasi berkaitan erat dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri yang tercermin dalam fungsi pokok pemerintahan fungsi pelayanan, pengaturan/regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat.
 Secara umum ada dua permasalahan  penting dalam etika birokrasi. Pertama, masalah yang ada dalam birokrasi semakin lama semakin komplek. Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi.
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sanksi yang jelas dan tegas, ini semua membutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk menaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sanksi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sanksi fisik atau hukuman tetapi berupa sanksi sosial, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkungan masyarakat tersebut. Sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).
  1. Fungsi dan Peran Birokrasi
Pemerintah memiliki pola prilaku yang wajib dijadikan sebagai pedoman atau kode etik berlaku bagi setiap aparaturnya. Etika dalam birokrasi harus ditimbulkan dengan berlandaskan pada paham dasar yang mencerminkan sistem yang hidup dalam masyarakat harus dipedomani serta diwujudkan oleh setiap aparat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara umum nilai-nilai suatu etika yang perlu dijadikan pedoman dan perlu dipraktekkan secara operasional antara lain:
a)      Aparat wajib mengabdi kepada kepentingan umum.
b)      Aparat adalah motor penggerak “head“ dan “heart“  bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c)      Aparat harus berdiri di tengah-tengah, bersikap terbuka dan tidak memihak (mediator).
d)     Aparat harus jujur, bersih dan berwibawa.
e)      Aparat harus bersifat diskresif, bisa membedakan mana yang rahasia dan tidak rahasia, mana yang penting dan tidak penting.
f)       Aparat harus selalu bijaksana dan sebagai pengayom.
Peraturan kepegawaian sebagai bagian dari penerapan etika birokrasi. Peraturan ini tertuang dalam Kode Etik Pegawai Negeri. Akan tetapi kode etik ini belum kentara hasil dan fungsinya. Namun, dengan kode etik ini mengupayakan aparat birokrasi yang lebih jujur, bertanggung jawab, disiplin, rajin, memiliki moral yang baik, tidak melakukan perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, perlu usaha dan latihan serta penegakan sanksi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode etik atau aturan yang ditetapkan.
Ada beberapa hal yang perlu dihindari oleh birokrasi, antara lain :
Ø  Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan,
Ø  Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melakukan transaksi untuk kepentingan dinas,
Ø  Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat ia berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah,
Ø  Membocorkan informasi komersial/ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak,
Ø  Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung izin pemerintah.
  1. Dampak Perilaku Menyimpang Dalam Birokrasi
Persolan dalam birokrasi itu sendiri dipengaruhi oleh dua fatktor yaitu pertama faktor internal dimana persoalan kualitas SDM, sistem dan prosedur kerja yang masih bertele-tele, budaya kerja yang masih feodalistik, kempemimpinan yang kaku dan cenderung tidak visioner, mental dan moral yang rendah serta struktur organisasi yang gemuk tap kurang jelas fungsinya. Faktor tersebut masih juga terkait dengan perilaku administrator maupun perilaku organisasi. Dan yang kedua dari faktor eksternal paling tidak terkait dengan hal-hal seperti kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap birokrasi, tuntutan masyarakat terhadap perlunya birokrasi yang profesional, bebas KKN, budaya yang dianut oleh masyarakat umum kurang kondusif bagi perbaikan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat terhadap sistem kebijakan yang berlaku masih rendah, kesenjangan sosial, serta hal-hal lainnya. Persoalannya ini serupa dengan apa yang di sampaikan oleh Warsito terkait dengan sepuluh persoalan birokrasi publik di Indonesia antaranya sebegai berikut :
a.       Prosedur dan mekanisme kerja yang berbelit-belit
b.      Masih kurangnya transparansi dan akuntabilitas
c.       Kurang responsif dan akomodatif terhadap tuntutan masyarakat
d.      Kurang informatif dan kurang konsisten dalam kebijakan dan prosedur pelayanan
e.       Terbatasnya fasilitas, sarana, prasarana, serta belum optimalnya pemanfaatan tehnologi informasi dan komunikasi dalam tugas umum pemerintahan dan pembangunan
f.       Rendahnya kepastian hukum, waktu dan biaya
g.      Masih banyak dijumpai praktik pengutan liar serta tindakan-tindakan yang berindikasi penyimpangan dan KKN
h.      Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan  pembangunan.














BAB III
PENUTUP
A.       KESIMPULAN
Budaya dalam birokrasi juga masih belum beranjak banyak dari kultur penguasa dalam berinteraksi dengan masyarakat. Belum banyak birokrasi pemerintahan pada tingkat Kabupaten/Kota yang telah mengembangkan semacam Public Service Award yang dapat dipergunakan untuk mengukur kinerja seorang Bupati/Walikota atau Kepala Unit Pelayanan teknis Pemda dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Pelembagaan pelayanan publik yang diarahkan pada kepuasan pengguna layanan, seperti misalnya pelembagaan citizens’ charter juga masih belum terlihat dikembangkan oleh birokrasi di daerah. Kondisi-kondisi tersebut yang belum banyak diberikan perhatian besar oleh pemerintah daerah sehingga kultur pelayanan birokrasi pemerintah belum secara efektif mengalami perubahan.
Apabila birokrasi di daerah tidak secara serius mencoba untuk melembagakan sistem pelayanan yang berorientasi pada pengguna layanan, maka birokrasi akan sulit untuk keluar dari “krisis” pemberian pelayanan. Sampai saat ini kultur birokrasi yang masih bercorak “Pengatur” masih tetap dominan, dan belum berubah menjadi kultur “melayani”. Adanya otonomi daerah diharapkan akan dapat memberikan masa transisi pada birokrasi untuk melakukan perubahan strategi manajemen dan kultur birokrasi yang lebih baik di masa-masa mendatang.








B.       KRITIK / SARAN
Setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Alloh SWT. atas apa yang telah dilakukannya selama hidup. Apalagi seorang Pemimpin dari ratusan juta orang. Selain mempertanggungjawabkan kepada Alloh SWT. juga harus mempertanggungjawabkan kepada orang – orang yang ada di bawah kepemimpinannya.



















Daftar Pustaka
Sumber Buku :
*      Dwiyanto, Agus. dkk., 2001. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Laporan Penelitian, Kerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Ford Foundation., Yogyakarta.
*      Pratikno. 1999. Mengisi Otonomi DIY, Artikel Lepas dalam Debat Opini Otonomi Daerah, Harian Kedaulatan Rakyat, 16 November, Yogyakarta
*      Turner, Mark & David Hulme. 1997. Governance, Administration and Development, Kumarian Press, Inc., Connecticut
*      Zeithaml, Valerie A., A Parasuraman & Leonard L. Berry. 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations, The Free Press A Division of Macmillan, Inc. New York.

Sumber Internet :
*      www.wikipedia.com
*      www.google.com
*      http://pauluklabibi.blogspot.com/2012/11/kultur-dan-etika-birokrasi_8284.html









MAKALAH
Kultur dan Etika Birokrasi di Indonesia
“ MATA KULIAH BIROKRASI INDONESIA”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK :
1.      NASRULLAH
2.      IRWAN ASIS
3.      ABDUL GANI SIMAL

     


FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDY ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS DARUSSALAM AMBON
KAMPUS “C” MASOHI
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang diberikan oleh dusen pembimbing di susun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sistem Program Studi Ilmu Pemerintahan.
Makalah ini sendiri kami susun berdasarkan teori dan sejarah birokrasi serta polemik yang terjadi di era globalisasi ini.. Dengan judul makalah ”Kultur dan Etika Birokrasi di Indonesia
Kami  menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna menyempurnaka penulisan  ini. Kami  pun berharap semoga apa kami rangkum  ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.
                                     
                                                            Masohi, Des 2012

                                                Penulis




DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................
BAB I             PENDAHULUAN..............................................................
1.1  Latar Belakang.............................................................
1.2  Maksud dan tujuan penulisan..........................................
BAB II           PEMBAHASAN..........................................................................
A.    Konsep Kultur dan Etika…………………………………..
B.     Kultur dan Etika Birokrasi di Indonesia…………………..
C.     Fungsi dan Peran Birokrasi……………………………….
D.    Dampak Perilaku Menyimpang dalam Birokrasi di Indonesia.
BAB III          PENUTUP........................................................................
                        5.1 Kesimpulan..................................................................
                        5.2 Saran...........................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................








BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Wajah birokrasi dari suatu penyelengaraan negara Indonesia akan tercermin pada hasil produk yang berupa adanya standar pelayanan terhadap publik atau masyarakat dalam rangka merasionalisasi birokrasi akan dapat terwujudnya dengan adanya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, terdapat sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak dan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dengan terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan dan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memperoleh penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan pada kepentingan umum serta adanya kepastian hukum dalam kesamaan hak disamping keseimbangan hak dan kewajiban meliputi keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, penyedian fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
Sebagai penjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik dan penanggung jawab adalah pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, pimpinan lembaga lainnya, gubernur pada tingkat provinsi dengan kewajiban melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sedangkan pada tingkat bupati pada tingkat kabupaten, walikota pada tingkat kota melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan menteri atau dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dan gubernur
Efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas publik terdapat faktor yang menentukan antara lain dengan adanya derajat transparansi penerimaan yang dapat diukur dari peran media massa dalam memberikan informasi kepada publik meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang telah dilakukan dan tidak pernah dilakukan bagi kepentingan publik serta pendidikan pemahaman hak-hak sipil yang diberikan kepada para warga negara agar mengetahui hak dan kewajibannya serta kesiapannya untuk menjalankan.
1.2  Maksud dan tujuan penulisan
Adapun maksud dan tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mendapatkan data, baik secara kwantitatif maupun kwalitatif mengenai Birokrasi Indonesia.
2.      Sebagai suatu bahan pelajaran ke depan dengan adanya polemik yang terjadi dalam Birokrasi di Indonesia saat ini.









BAB II
PEMBAHASAN
KULTUR DAN ETIKA BIROKRASI DI INDONESIA
  1. Konsep Kultur dan Etika
Menurut Samuel P. Huntington bahwa birokrasi merupakan mesin pemerintah yang mengimplementasikan kebijakan Negara. Birokrasi merupakan mata rantai tak terpisahkan dalam hubungan pemerintah dengan rakyat dalam hal ini berkaitan dengan fungsi pemerintah dalam hal mencapai tujuan pelayanan publik yang maksimal.
          Saat ini birokrasi di indonesia sering menjadi keluhan dan sorotan oleh kalangan masyarakat. Pasalnya Birokrasi merupakan alat negara dalam penyeleggaraan dan melayani masyarakat. Dalam menanggapi maslah ini secara umum ada dua permasalahan yang menjadi inti dari permasalahan ini. Pertama, kultur birokrasi. Kedua, etika birokrasi.
Kultur atau budaya secara etimologi berasal dari colore yang artinya mengerjakan atau mengelola. Dalam kamus bahasa indonesia kultur di artikan sebagai peradaban, adat dan etik. Jadi kultur adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Etika dapat didefinisikan sebagai pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral yang memberikan refleksi tentang bagaimana manusia harus hidup, dan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sehingga etika dapat dipandang sebagai perangkat nilai atau norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karenanya, keberadaan etika secara umum maupun khusus adalah inklusif dalam tatanan lingkungan sosial. Bertens menjelaskan etika  sebagai nilai-nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Ia juga menegaskan bahwa etika merupakan nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, maka etika bermuara pada nilai atau tingkah laku seseorang atau sekelompok orang.
  1. Kultur dan Etika Birokrasi di Indonesia
1.      Kultur Birokrasi
Birokrasi di Indonesia, merupakan warisan kultur birokrasi sejak masa penjajahan kolonial dulu. Beberapa episode dalam pemerintahan yang mewarnai bangsa ini menempatkan birokrasi di negara ini dalam berbagai karakteristik yang mencerminkan keadaan (kegagalan) tersebut. Pada masa kolonialisme, birokrasi diatur oleh pemerintah penjajah Hindia Belanda yang menganut pola pikir pengaturan wilayah jajahannya.
Orientasi reformasi yang lebih mengarah pada perubahan dalam birokrasi ini bukanlah hanya merupakan tuntutan yang tanpa alasan, melainkan karena adanya beberapa permasalahan yang selama ini membelenggu birokrasi pada umumnya. Permasalahan yang terjadi dallam perilaku birokrasim sering kali menjadi dasar permasalahan yang muncul dikalangan birokrasi. Masalah perilaku ini juga tidak sebatas dipengaruhi oleh kondisi internal birokrasi itu sendiri tetapi juga karena adanya pengaruh eksternal yaitu adanya intervensi dari partai politik terhadap aparat biroktasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Miftah Thoha bahwa terkait netralitas aparatur birokrasi tidak sepenuhnya terjadi karena adanya intervensi dari partai politiK.
perilaku aparatur birokrasi di Indonesia saat ini menjadi catatan merah yang perlu diperbaiki, dari sekian data KKN, Prosedur dan Mekanisme Kerja yang berbelit-belit, kaya struktur tetapi miskin fungsi kesemuanya merupakan persoalan perilaku aparatur didalamnya. Pada tataran tertentu, permasalahan-permmasalahan tersebut bisa terjadi secara parsial yang terfragmentasikan pada masing-masing kondisi. Tetapi pada tataran atau kondisi lainnya bisa pula terjadi secara bersamaan. Dan pada masa desentralisasi ini pun persoalan tersebut semakin terfragmentasikan kedalam satu kondisi dimana terliha dari kepemimpinannya.
2.      Etika Birokrasi
Etika birokrasi berkaitan erat dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri yang tercermin dalam fungsi pokok pemerintahan fungsi pelayanan, pengaturan/regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat.
 Secara umum ada dua permasalahan  penting dalam etika birokrasi. Pertama, masalah yang ada dalam birokrasi semakin lama semakin komplek. Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi.
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Di sini tidak akan dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya serta sanksi yang jelas dan tegas, ini semua membutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk menaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sanksi yang menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sanksi fisik atau hukuman tetapi berupa sanksi sosial, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling keras disingkirkan dari lingkungan masyarakat tersebut. Sementara bagi Aparat Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang melekat).
  1. Fungsi dan Peran Birokrasi
Pemerintah memiliki pola prilaku yang wajib dijadikan sebagai pedoman atau kode etik berlaku bagi setiap aparaturnya. Etika dalam birokrasi harus ditimbulkan dengan berlandaskan pada paham dasar yang mencerminkan sistem yang hidup dalam masyarakat harus dipedomani serta diwujudkan oleh setiap aparat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara umum nilai-nilai suatu etika yang perlu dijadikan pedoman dan perlu dipraktekkan secara operasional antara lain:
a)      Aparat wajib mengabdi kepada kepentingan umum.
b)      Aparat adalah motor penggerak “head“ dan “heart“  bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c)      Aparat harus berdiri di tengah-tengah, bersikap terbuka dan tidak memihak (mediator).
d)     Aparat harus jujur, bersih dan berwibawa.
e)      Aparat harus bersifat diskresif, bisa membedakan mana yang rahasia dan tidak rahasia, mana yang penting dan tidak penting.
f)       Aparat harus selalu bijaksana dan sebagai pengayom.
Peraturan kepegawaian sebagai bagian dari penerapan etika birokrasi. Peraturan ini tertuang dalam Kode Etik Pegawai Negeri. Akan tetapi kode etik ini belum kentara hasil dan fungsinya. Namun, dengan kode etik ini mengupayakan aparat birokrasi yang lebih jujur, bertanggung jawab, disiplin, rajin, memiliki moral yang baik, tidak melakukan perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, perlu usaha dan latihan serta penegakan sanksi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode etik atau aturan yang ditetapkan.
Ada beberapa hal yang perlu dihindari oleh birokrasi, antara lain :
Ø  Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan,
Ø  Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melakukan transaksi untuk kepentingan dinas,
Ø  Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat ia berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah,
Ø  Membocorkan informasi komersial/ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak,
Ø  Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung izin pemerintah.
  1. Dampak Perilaku Menyimpang Dalam Birokrasi
Persolan dalam birokrasi itu sendiri dipengaruhi oleh dua fatktor yaitu pertama faktor internal dimana persoalan kualitas SDM, sistem dan prosedur kerja yang masih bertele-tele, budaya kerja yang masih feodalistik, kempemimpinan yang kaku dan cenderung tidak visioner, mental dan moral yang rendah serta struktur organisasi yang gemuk tap kurang jelas fungsinya. Faktor tersebut masih juga terkait dengan perilaku administrator maupun perilaku organisasi. Dan yang kedua dari faktor eksternal paling tidak terkait dengan hal-hal seperti kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap birokrasi, tuntutan masyarakat terhadap perlunya birokrasi yang profesional, bebas KKN, budaya yang dianut oleh masyarakat umum kurang kondusif bagi perbaikan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat terhadap sistem kebijakan yang berlaku masih rendah, kesenjangan sosial, serta hal-hal lainnya. Persoalannya ini serupa dengan apa yang di sampaikan oleh Warsito terkait dengan sepuluh persoalan birokrasi publik di Indonesia antaranya sebegai berikut :
a.       Prosedur dan mekanisme kerja yang berbelit-belit
b.      Masih kurangnya transparansi dan akuntabilitas
c.       Kurang responsif dan akomodatif terhadap tuntutan masyarakat
d.      Kurang informatif dan kurang konsisten dalam kebijakan dan prosedur pelayanan
e.       Terbatasnya fasilitas, sarana, prasarana, serta belum optimalnya pemanfaatan tehnologi informasi dan komunikasi dalam tugas umum pemerintahan dan pembangunan
f.       Rendahnya kepastian hukum, waktu dan biaya
g.      Masih banyak dijumpai praktik pengutan liar serta tindakan-tindakan yang berindikasi penyimpangan dan KKN
h.      Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan  pembangunan.














BAB III
PENUTUP
A.       KESIMPULAN
Budaya dalam birokrasi juga masih belum beranjak banyak dari kultur penguasa dalam berinteraksi dengan masyarakat. Belum banyak birokrasi pemerintahan pada tingkat Kabupaten/Kota yang telah mengembangkan semacam Public Service Award yang dapat dipergunakan untuk mengukur kinerja seorang Bupati/Walikota atau Kepala Unit Pelayanan teknis Pemda dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Pelembagaan pelayanan publik yang diarahkan pada kepuasan pengguna layanan, seperti misalnya pelembagaan citizens’ charter juga masih belum terlihat dikembangkan oleh birokrasi di daerah. Kondisi-kondisi tersebut yang belum banyak diberikan perhatian besar oleh pemerintah daerah sehingga kultur pelayanan birokrasi pemerintah belum secara efektif mengalami perubahan.
Apabila birokrasi di daerah tidak secara serius mencoba untuk melembagakan sistem pelayanan yang berorientasi pada pengguna layanan, maka birokrasi akan sulit untuk keluar dari “krisis” pemberian pelayanan. Sampai saat ini kultur birokrasi yang masih bercorak “Pengatur” masih tetap dominan, dan belum berubah menjadi kultur “melayani”. Adanya otonomi daerah diharapkan akan dapat memberikan masa transisi pada birokrasi untuk melakukan perubahan strategi manajemen dan kultur birokrasi yang lebih baik di masa-masa mendatang.








B.       KRITIK / SARAN
Setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Alloh SWT. atas apa yang telah dilakukannya selama hidup. Apalagi seorang Pemimpin dari ratusan juta orang. Selain mempertanggungjawabkan kepada Alloh SWT. juga harus mempertanggungjawabkan kepada orang – orang yang ada di bawah kepemimpinannya.



















Daftar Pustaka
Sumber Buku :
*      Dwiyanto, Agus. dkk., 2001. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Laporan Penelitian, Kerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Ford Foundation., Yogyakarta.
*      Pratikno. 1999. Mengisi Otonomi DIY, Artikel Lepas dalam Debat Opini Otonomi Daerah, Harian Kedaulatan Rakyat, 16 November, Yogyakarta
*      Turner, Mark & David Hulme. 1997. Governance, Administration and Development, Kumarian Press, Inc., Connecticut
*      Zeithaml, Valerie A., A Parasuraman & Leonard L. Berry. 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations, The Free Press A Division of Macmillan, Inc. New York.

Sumber Internet :
*      www.wikipedia.com
*      www.google.com
*      http://pauluklabibi.blogspot.com/2012/11/kultur-dan-etika-birokrasi_8284.html