Indonesia merupakan negara membangun yang perekonomiannya masih bersifat terbuka, yang artinya masih rentan terhadap pengaruh dari luar. Oleh karena itu perlu adanya fundasi yang kokoh yang dapat membentengi suatu negara agar tidak sepenuhnya dapat terpengaruh dari dunia luar, Seperti apa yang terjadi pada 10 tahun yang silam Ketika negara Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand. Tetapi ternyata guncangan keuangan yang sangat hebat dari negara Thailand ini berimbas kepada perekonomian Indonesia, kekacauan dalam perekonomian ini menjadi awal dan salah satu faktor penyebab runtuhnya perekonomian Indonesia termasuk terjebaknya Indonesia ke dalam dilema utang luar negeri.
Selain faktor dari luar, salah satu penyebab krisis yang terjadi di Indonesia juga berasal dari dalam negeri, yaitu proses integrasi perkonomian Indonesia ke dalam perekonomian global yang berlangsung dengan cepat dan kelemahan fundamental mikroekonomi yang tercermin dari kerentanan (fragility) sektor keuangan nasional, khususnya sektor perbankan, dan masih banyak faktor-faktor lainnya yang berperan menciptakan krisis di Indonesia,
Pinjaman luar negeri, atau utang luar negeri adalah salah satu hantu bagi pembangunan ekonomi negara dunia ketiga pada sa’at ini. Beberapa referensi yang mengkaji mengenai pembangunan di negara-negara berkembang mulai melihat persoalan pinjaman luar negeri sebagai salah satu pusat penyebab keterbelakangan negara-negara dunia ketiga.
Beberapa persoalan yang timbul dari utang luar negeri adalah memperlebar jurang antara negara-negara miskin di bagian selatan dan negara-negara kaya di bagian utara; memiskinkan penduduk di negara-negara dunia ketiga; dan sering pula dilihat sebagai sebuah bentuk penjajahan baru. Menurut perhitungan IMF, pada tahun 2006, utang luar negeri dari 146 negara selatan melampaui 2.207 milliar USD dan uang yang harus mereka bayarkan adalah 495.3 milliar USD. Jumlah ini diakui sendiri oleh IMF bahwa angka ini melampaui kemampuan negara-negara di atas untuk membayar, mengingat nilai di atas sama dengan 80% dari seluruh export barang dan jasa dari negara-negara di atas.
Dengan realitas tersebut, berbagai kalangan akademisi, wartawan dan aktivis internasional melihat utang luar negeri sebagai sebuah bentuk penjajahan baru; diimana utang luar negeri telah memfasilitasi aliran sumber kekayaan dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya. Wartawan dokumenter ternama, John Pilger, bahkan menyebut utang luar negeri sebagai sebuah bentuk lain dari perang (War by other Means), dimana perang yang tidak terlihat di layar televisi atau berita, perang yang terdiam dan tersembuny, tidak menggunakan senjata dan peluru, tidak ada okupasi militer; tetapi telah membunuh jutaan anak dan orang miskin di seluruh dunia dalam hitungan harinya.
Restrukturisasi BUMN adalah upaya peningkatan kesehatan BUMN / perusahaan dan pengembangan kinerja usaha melalui sistem baku yang biasa berlaku dalam dunia korporasi. Privatisasi Pada hakekatnya adalah melepas kontrol monopolistik Pemerintah atas BUMN. Akibat kontrol monopolistik Pemerintah atas BUMN menimbulkan distorsi antara lain, pola pengelolaan BUMN menjadi sama seperti birokrasi Pemerintah, terdapat conflict of interest antara fungsi Pemerintah sebagai regulator dan penyelenggara bisnis serta BUMN menjadi lahan subur tumbuhnya berbagai praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan cenderung tidak transparan. Fakta membuktikan bahwa praktek KKN tidak ada (jarang ditemukan) pada BUMN yang telah menjadi perusahaan terbuka (go public). BUMN akan mengalami peningkatan kinerja operasional / keuangan, karena pengelolaan perusahaan lebih efisien
A. Permasalahan
1. Hutang Luar Negeri
Sub bahasan :
a. Dilemma antara biaya pemulihan
ekonomi dan pembayaran cicilan dan bunga.
b. Keluar dari perangkap hutang.
2. Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN
Sub bahasan :
a. BUMN andalkan pemulihan ekonomi.
b. Peran BPPN dan kementrian BUMN.
c. Konsistensi masi terus di tunggu.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
Ø Agar kita bisa lebih mengetahui masalah-masalah perekonomian yang terjadi sampai Indonesia terbelut hutang luar negeri dan solusi-solusi apa saja yang akan dilakukan pemerintah saat ini.
Ø Agar kita bisa memahami masalah yang terjadi dan bisa memberikan solusi terhadap masalah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hutang Luar Negeri
a. Dilema antara pemulihan Ekonomi dan pembayaran cicilan dan Bunga
Pengampunan membawa pulihnya keyakinan pihak pelaku ekonomi, menurunnya tingkat bunga, masuknya modal asing yang diparkir di luar negeri, bergairahnya investasi dan berlangsungnya alokasi besaran pengeluaran publik.
Gencarnya upaya berbagai kalangan untuk meminta pengampunan utang dikarenakan dengan adanya utang ini, Indonesia mengalami peningkatan kualitas dalam proses pembangunan.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Utang tidak merangsang pemerintah untuk melaksanakan kebijakan -kebijakan struktural yang sesuai dengan konteks negara bersangkutan, karena dipengaruhi oleh komitmen dengan lembaga donor sehingga sering terjadi overlapping kebijakan, akhirnya mengarah pada kebijakan yang tidak begitu populer.
2. Pemerintah kesulitan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena utang akan menjadikan negara berkembang akan dipaksa oleh kebijakan yang lebih mengarah pada orientasi pengembalian utang dan bunga, sehingga kadang kurang mempertimbangkan persoalan riil.
Banyak kasus yang mengarahkan bahwa lembaga dan negara donatur "membiarkan'' negara berkembang menuju kehancuran terbukti dengan meningkatnya persentase utang dari tahun ke tahun di beberapa negara berkembang seperti Meksiko, Brasil, Chili, Argentina, dan sebagainya. Artinya tidak ada kontrol selektif dari lembaga dan negara donatur terhadap utang mereka kepada negara berkembang.
3. Utang selalu memberatkan sehingga menyebabkan pemerintah kesulitan dalam melakukan reformasi struktural secara leluasa dan efektif sehingga mempersempit kemampuan negara berkembang untuk membayar utang.
4. Dominasi negara maju mempengaruhi pemerintah untuk selalu tergantung kepada negara maju, sehingga tidak ada peluang yang lebih luas bagi Negara berkembang untuk mengembangkan dirinya lebih dari negara maju. Karena mekanismenya pencairan utang melewati kesepakatan letter of intenst (LoI) yang mendasarkan pada pola kebijakan ekonomi negara donatur, sehingga struktur negara berkembang disesuaikan dengan struktur perekonomian negara maju.
5. Besarnya dominasi utang dalam pembangunan mengakibatkan perhitungan besaran ekonomi tidak menunjukkan besaran yang sebenarnya karena direduksi oleh peningkatan persentase utang dari waktu ke waktu.
Kekhawatiran pemerintah terhadap IMF untuk tidak mau berkompromi terhadap penundaan utang (debt rescedulling) dalam kesepakatan LoI menyiratkan betapa besarnya ketergantungan Indonesia terhadap IMF.
Ketergantungan bukan dalam bentuk berapa besar jumlah uang yang dicairkan dan berapa besar utang yang akan diterima, tetapi juga kepercayaan dunia internasional, khususnya investor asing yang berhasrat untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab karakter hubungan IMF dengan Indonesia menjadi rekomendasi bagi investor asing untuk melangsungkan kerjasama dengan Indonesia.
Langkah-langkah strategis pun dilakukan pemerintah sebagai upaya mendapatkan kembali kepercayaan IMF, acapkali strategi ini tidak mempunyai akselerasi terhadap masalah riil peningkatan kesejahteraan rakyat.
Peningkatan harga BBM, tarif dasar listrik (TDL) dan tarif telepon sebagaimana "direkomendasikan'' IMF merupakan langkah yang kurang populer yang harus direalisasikan. Bahkan tarif tersebut mempunyai elastisitas tinggi terhadap biaya produksi, lewat mekanisme multiple effect akan memicu inflasi .
Kesepakatan pemerintah dengan IMF selama ini menunjukkan hasil yang kurang efektif dalam menyelenggarakan pembangunan, terbukti dalam proses pembangunan tidak menunjukkan hasil-hasil yang optimal bagi kesejahteraan rakyat dan praktek KKN pun masih bercokol hampir setiap meja birokrasi walaupun hal ini berkaitan dengan mentalitas pejabat pemerintahan. (18).
b. Keluar dari Perangkap Hutang
Utang luar negeri sudah sejak lama menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur pembangunan kita. Pada awalnya, keberadaannya digembar-gemborkan sebagai pelengkap pembangunan, sedangkan pembiayaan utama dititikberatkan pada mobilisasi sumber-sumber domestik.
Akan tetapi pandangan itu ternyata hanyalah jargon dalam perencanaan pembangunan nasional sejak masa Orde Baru. Pemerintah tidak dapat menampik bahwa utang malah menjadi tumpuan. Jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun hingga akhirnya Indonesia masuk dalam perangkap utang (debt trap). Pertumbuhan ekonomi dengan utang sebagai penopangnya menjadi bencana yang secara dramastis dirasakan, khususnya sejak tahun 1998 (awal krisis) hingga sekarang.
Dalam banyak kasus, termasuk Indonesia, dampak negatif dari utang luar negeri dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Utang luar negeri memberikan dampak negatif terhadap tabungan domestik, sehingga terjadi apa yang disebut dengan aid-switching. Akibatnya pula utang luar negeri telah mensubstitusi tabungan domestik.
2. Utang luar negeri mempertahankan overvalued currency sehingga mempermudah impor untuk tujuan yang tidak produktif.
3. Sebagian besar dana utang dibelanjakan ke negara pemberi utang sehingga yang diuntungkan sebenarnya adalah negara-negara donor. Kondisi ini semakin diperparah oleh pengelolaan utang yang sembrono yang antara lain diwarnai oleh praktek-praktek korupsi dan kolusi.
Alternatif Pemikiran
Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut perekonomian nasional yang menanggung beban utang demikian berat? Menurut Arief, pemecahan atas persoalan tersebut berangkat dari titik tolak pemikiran bahwa pembangunan ekonomi harus diartikan sebagai perkembangan ekonomi rakyat dengan segala aspek kehidupannya.
Sesungguhnya sejak lama pula sudah terdapat sebagian pihak yang mengingatkan bahwa utang luar negeri bisa menjadi bumerang. Salah satu di antaranya adalah ekonom terkemuka, Prof. Dr. Sritua Arief. Sejak tahun 1970-an ia konsisten mengemukakan sudut pandangnya tentang bahaya utang luar negeri dan peran lembaga donor yang intervensionis.
Hasil pemikirannya tersebut antara lain terejawantah dalam tulisan-tulisannya di berbagai media cetak. Sebagian dari tulisan tersebut kini terhimpun dalam bentuk buku berjudul Indonesia Tanah Air Beta.
Selama ini kelemahan Indonesia terletak pada struktur sosial yang pincang. Oleh karena itu, mutlak diperlukan restrukturisasi sosial, terutama restrukturisasi penguasaan/ pemilikan aset ekonomi (hal 289). Dengan demikian, pembangunan ekonomi merupakan proses transformasi sosial dan ekonomi secara bersama-sama.
Program-program yang ditawarkan Arief yang disebutnya sebagai program ekonomi kerakyatan mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Melaksanakan etika produksi baru, yakni menghasilkan produk yang komposisi dan isinya memihak kepada kepentingan rakyat banyak. Produk-produk tersebut mendominasi struktur produksi nasional sehingga dapat menjamin perluasan kesempatan kerja dan pendapatan yang layak.
2. Melaksanakan demokrasi ekonomi dengan menegakkan sistem ekonomi rakyat. Sistem ini menolak penguasaan aset oleh segelintir orang atau etatisme negara.
3. Strategi industrialisasi, yakni industri yang didasarkan pada etika produksi baru dengan distribusi yang merata pada tingkat distrik. Pengertian distrik tidak melulu batasan administratif tetapi lebih bersifat ekonomis.
4. Pembangunan koperasi sebagai tulang punggung perekonomian seperti diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Koperasi diharapkan menjadi unit-unit usaha, tidak melulu berskala kecil dan menengah tetapi juga unit skala besar. Bagi Arief, pasal 33 berfungsi untuk mengelola dan melakukan koreksi pasar demi kemakmuran dan kedaulatan rakyat.
Terdapat tiga asumsi dasar yang harus dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap yaitu :
1. Laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga pada level antara minimum 3% setahun dan maksimum 7% setahun. Angka terakhir pernah tercapai di masa Orde Baru, tetapi didasari oleh penjagaan keamanan yang keras dan otoriter dan arus modal masuk yang puluhan milyar setahun.
2. Menjaga tingkat inflasi tetap rendah-rendah (di bawah 10% setahun, idealnya 6%), medium (sekitar 10% setahun) dan tinggi (di atas 10% setahun)- Semakin rendah inflasi semakin baik oleh karena pengeluaran untuk membayar bunga utang rekap perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi rendah akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dari luar.
3. Dalam beberapa tahun kedepan diharapkan tidak ada lagi penambahan stock hutang yang ada. Ini berarti bahwa di dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk menyelamatkan sistim perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan utang luar negeri.
class=C#� i t Pw x�B CxSpMiddle>
3. Dalam beberapa tahun kedepan diharapkan tidak ada lagi penambahan stock hutang yang ada. Ini berarti bahwa di dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk menyelamatkan sistim perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan utang luar negeri.
2. Restrukturisasi dan Prifatisasi BUMN
a. Latar belakang keberadaan keberadaan BUMN
Untuk memahami keberadaan BUMN, perlu ditinjau secara sekilas latar belakang filosofis-historis dari keterlibatan langsung Pemerintah dalam kegiatan produksi yang dimanifestasikan dalam wujud BUMN. Paling tidak ada lima faktor yang melatarbelakangi keberadaan BUMN, yaitu:
1) Pelopor atau perintis karena swasta tidak tertarik untuk menggelutinya;
2) Pengelola bidang-bidang usaha yang “strategis” dan pelaksana pelayanan publik;
3) Penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar;
4) Sumber pendapatan negara; dan
5) Hasil dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan didanai oleh pampasan perang.
b. BUMN andalan pemulihan ekonomi
Momentum pemulihan ekonomi akan menjadikan BUMN makin memperkokoh kontribusinya bagi perekonomian nasional.
Lembaga-lembaga riset perekonomian global memprediksikan Indonesia akan menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan yang signifikan di tahun 2011 ini. Perekonomian Indonesia baru masuk siklus kenaikan tujuh tahunan, yang ditandai dengan terus meningkatnya pendapatan entitas bisnis.
Pertumbunan ekonomi akan mencapai 6-7 persen. Angka ini menempatkan Indonesia di atas Malaysia dan Thailand dalam hal pertumbuhan. Kemampuan Indonesia dalam merespon krisis finansial global, serta tingkat pertumbuhan. Dan, perekonomian Indonesia diprediksi akan terus tumbuh hingga tujuh tahun ke depan.
Indonesia potensial menggantikan Rusia dalam kelompok negara BRIC, kata Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar, mengutip hasil riset Goldman Sachs, pada paparan Outlook BUMN 2011, akhir Februari. BRIC adalah kelompok negara dengan perekonomian paling prospektif, terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan Cina.
Di bawah naungan situasi makro yang amat kondusif itu, tak berlebihan jika kalangan BUMN mencanangkan target yang jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sampai-sampai sempat mencuat ungkapan ekstra-optimis, yang menyebut kinerja BUMN akan mampu melejit hingga 100 persen dari capaian tahun 2009. Namun pada paparan Outlook BUMN 2011 itu, yang dilontarkan kepada publik proyeksi dan target-target yang realistis.
Sikap realistis itu jelas lebih tepat dan sudah pada tempatnya, mengingat di balik kondisi yang amat menjanjikan itu, tetap saja ada hal-hal yang perlu diwaspadai. Di antaranya, menurunnya permintaan dari negara maju karena resesi, apresiasi nilai tukar karena derasnya capital inflow dan tekanan inflasi.
Lonjakan terjadi pada target perolehan laba bersih, meskipun masih di bawah 20 persen. Tahun ini ditargetkan akan terjadi kenaikan hingga 19,32 persen, dua kali lipat dibanding kenaikan laba bersih tahun lalu sebesar 9,67 persen. Target laba bersih 2011 dipatok Rp 113,72 triliun. Tahun lalu mencapai Rp 95,30 triliun (prognosa), dan tahun 2009 sebesar Rp 86,90 triliun.
Tahun 2010 total dividen mencapai Rp 30,1 triliun, lebih tinggi dari target sebesar Rp 29,9 triliun. Tahun ini dividen yang disetorkan ke kas negara turun 8,6 persen ke angka Rp 27,5 triliun. Kesepakatan pemerintah dan DPR menurunkan target setoran dividen tidak lain dimaksudkan agar BUMN memiliki cukup dana untuk memperkuat permodalan dan mengembangkan usaha.
c. Peran BPPN dan Kementrian BUMN
a) Peran kementrin BUMN
Untuk mewujudkan amanah Undang-undang No. 19 tahun 2003 mengenai Badan Usaha Milik Negara pasal 2 ayat (1) butir (a) tentang salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN yaitu “memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya” maka Kemente-rian BUMN telah menyusun strategi penataan BUMN kedepan yang berada dalam kerangka rightsizing policy yang tadi telah kami jelaskan.
Untuk meningkatkan kon-tribusi BUMN dalam pertumbuhan ekonomi Kementerian BUMN akan memantapkan orientasi pengembangan kepada BUMN-BUMN yang memiliki potensi bisnis mau-pun pelayanan, dalam besaran dan struktur organisasi yang sesuai.
b) Peran BPPN
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengemban tugas penyehatan perbankan. Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1998 tentang BPPN. Kemudian dikuatkan dengan Undang Undang (UU) Nomor 10 tahun 1999 tentang Perbankan. Tugas itu sendiri awalnya dibagi menjadi beberapa kategori besar.